BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Microbacterium tubercuosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, diperkirakan pertahun terdapat sekitar sembilan juta penderita baru TB, diman 3 juta (33%) orang diantaranya meninggal. Dari jumlah tersebut 95 % terdapat dinegara-negara berkembang dan seharusnya dapat dilakukan pencegahan dari kematian sebesar 25 %. Keadaan tersebut semakin buruk dengan munculnya penyakit epidemic HIV/AIDS di dunia sehingga jumlah penderita TB Meningkat (Depkes. RI 2008)
WHO (World Health Organization) tahun 1995, memperkirakan insiden TB paru setiap tahun sebanyak 583.000 kasus dengan angka mortality sekitar 140.000 kasus , Tb paru merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes. RI 2008).
TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia produktif. Kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang rendah (Depkes. RI 2008).
TB paru adalah penyakit yang erat kaitannya dengan ekonomi lemah dan diperkirakan 95% dari jumlah kasus TB paru terjadi dinegara berkembang yang relatif miskin. Menurut WHO tahun 1999, Indonesia merupakan penyumbang penyakit TB paru terbesar nomor tiga di dunia sebanyak 583.00 kasus setelah India sebanyak 2 juta kasus dan Cina sebanyak 1,5 juta kasus (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sultra tahun 2009 ditemukan kasus sebanyak 2.163 kasus BTA Positif, Kemudian Kota Kendari tahun 2009 sebanyak 227 kasus BTA Positif dan yang terendah Kabupaten Buton Utara sebanyak 8 kasus, Sedangkan Puskesmas Poasia menjadi urutan pertama di Kota Kendari untuk kasus TB Paru BTA Positif yaitu tahun 2009 jumlah suspek TB Paru sebanyak 44 kasus (Dinas Propinsi Sultra. 2009).
Berdasarkan uraian di atas bahwa kasus tuberkulosis di Puskesmas Poasia yang masih tinggi hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti: Pengetahuan masyarakat dalam hal ini dibuktikan bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengetahui mengenai penyakit tuberkulosis bahwa penyakit tersebut dengan sangat mudah menular pada manusia. Kondisi rumah di Wilayah kerja puskesmas Poasia dalam hal Kepadatan penghuni dalam satu rumah akan terjadinya penularan penyakit dari satu manusia ke manusia lain kepadatan penghuni didalam ruangan yang berlebihan akan berpengaruh pada kelembaban dalam ruangan. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, terutama penyakit tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan, maka saya tertarik melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Kepadatan Hunian, Ventilasi Rumah dan Pengetahuan Penderita terhadap Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kecamatan Poasia Kota Kendari”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan mengingat beragamnya faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit tuberkulosis paru, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Adakah hubungan kepadatan hunian, ventilasi rumah dan pengetahuan dengan kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran hubungan kepadatan hunian, ventilasi rumah dan pengetahuan dengan kejadian penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kecamatan Poasia Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan Kepadatan hunian dengan
kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari.
kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari.
b. Untuk mengetahui hubungan ventilasi rumah dengan kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari.
c. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam menetapkan serta menentukan kebijakan, kesehatan dalam upaya pencegahan penularan dan penularan angka penyakit TB paru.
2. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis Paru
1. Etiologi
Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium Tuberkulosis dan dapat menyerang semua golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru (Depkes RI. 2008).
Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai batang tahan asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai koch pulmonum (Depkes RI. 2008).
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dalam bakteri mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening, Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti : paru-paru, otak, ginjal saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru (Depkes RI. 2008).
2. Penularan TB Paru
Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA (+), penularan terjadi pada waktu penderita TB batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman bakteri keudara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di uadara pada suhu kamar selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI. 2008).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman) maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang terinfeksi TB paru ditentukan oleh kosentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI. 2008)
3. Gejala Penyakit TB
Gejala penyakit pada penderita TB paru dapat dibagi menjadi gejala lokal di paru dan gejala pada seluruh tubuh secara umum. Gejala di paru tergantung pada banyaknya jaringan paru yang sudah rusak karena gejala penyakit TB paru ini berkaitan bagaimana bentuk kerusakan paru yang ada (Depkes RI. 2008)
Gejala paru seseorang yang dicurigai menderita TB paru dapat berupa :
a. Batuk lebih dari 2 minggu
b. Batuk berdahak
c. Sakit di dada selama lebih dari 2 minggu
d. Demam selama lebih dari 3 minggu
Semua gejala tersebut diatas mungkin disebabkan penyakit lain, tetapi bila terdapat tanda-tanda yang manapun diatas, dahak perlu dilakukan pemeriksaan (Crifton, 2002)
Gejala tubuh penderita tuberkulosis secara umum dapat berupa:
a. Keadaan umum, kadang-kadang keadaan penderita TB paru sangat kurus, berat badan menurun, tampak pucat atau tampak kemerahan.
b. Demam, penderita TB paru pada malam hari kemungkinan mengalami kenaikan suhu badan secara tidak teratur.
c. Nadi, pada umumnya penderita TB paru meningkat seiring dengan demam.
d. Dada, seringkali menunjukan tanda-tanda abnormal. Hal paling umum adalah krepitasi halus dibagian atas pada satu atau kedua paru. Adanya suara pernapasan bronkial pada bagian atas kedua paru yang menimbulkan whezing terlokalisasi disebabkan oleh tuberkulosis (Crifton, 2002)
4. Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan jasmani radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia, pada saat ini uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat indonesia sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi TB paru. Uji tuberkulin positif hanya menunjukan bahwa orang yang bersangkutan pernah terpapar Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2008)
a. Gejala Klinik
Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu, gejala respiratorik dan gejala sistemik.
1). Gejala respiratorik dapat berguna
a). Batuk lebih atau sama dengan 2 minggu
b). Batuk darah
c). Sesak napas
d). Nyeri dada
2) Gejala Sistemik
a). Demam
b). Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.
5. Tipe Penderita TB paru
Tipe pendcerita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum diobati dengan OAT atau sudah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (Relaps)
Adalah penderita TB paru yang sebelumnya mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten/Kota lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten / kota lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.
d. Lalai
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Lain-lain
1). Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada lahir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih).
2). Kronis
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan basil BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 (Depkes RI, 2008).
6. Pengobatan
Pengobatan tuberkolosis terutama berupa pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi (Depkes RI, 2008).
Penderita tuberkolosis dengan gejala klinis harus mendapat minimum dua obat untuk mencegah timbulnya strain yang resisten terhadap obat. Baru-baru ini CDC dan American Thoracic Society (ATS) mengeluarkan pernyataan mengenai rekomendasi kemoterapi jangka pendek bagi penderita tuberkolosis dengan riwayat tuberkolosis paru yang tidak diobati sebelumnya. Rekomendasi lama pengobatan 6 atau 9 bulan berkaitan dengan rejimen yang terdiri dari INH dan RIF (tanpa atau dengan obat-obat lainnya), dan hanya diberikan pada pasien tuberkolosis paru tanpa komplikasi. (Depkes RI, 2008)
a. Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan menurut Depkes RI menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencengah kekambuhan, menurunkan tingkat penularan
1. Jenis Dan Dosis Obat
a). Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolic aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/Kg BB, sedangkan untuk mengobatan intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/Kg BB
b). Streptomisis (S)
Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/Kg BB sedangkan untuk mengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari. Sedangkan untuk berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari
c). Etambutol (E)
Bersifat bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 12 mg/Kg BB sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/Kg BB
d). Rifamfisid (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (pesister) yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermiten 3 kali seminggu.
e). Pirasinamid
Bersifat bakterisd, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali diberikan dengan dosis mg/kg BB. (Depkes RI, 2008)
7. Pencegahan
Menurut Nyoman Kandum (2000), Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Temukan semua penderita tuberculosis dan berikan segera pengobatan yang tepat
b. Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan alat rontgen agar dapat melakukan diagnosa dini terhadap penderita, kontak dan tersangka. Sediakan juga fasilitas pengobatan terhadap penderita dan mereka yang resiko tinggi terinfeksi, sedangkan fasilitas tempat tidur untuk mereka yang perlu mendapat perawatan.
c. Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara pemberantasan
d. Mengurangi dan menghilangkan kondisi social yang mempertinggi risiko terjadinya infeksi, misalnya kepadatan hunian.
e. Meningkatkan sanitasi lingkungan perumahan
Lima tingkatan pencegahan (Fife level of prevention by level and Clark 1958)
1. Healt Promotion (Promosi Hidup Sehat)
2. Spesific Protection (Pencegahan dan Perlindungan spesifik)
3. Early Diangnosis and prompt Treatmen (Diagnosa Dini dan Pengobatan yang Cepat dan Tepat)
4. Disability Limitation (Meminimalkan Kecacatan atau ketidak mampuan)
5. Rehabilitation (rehabilitasi fisik dan mental)
B. Kepadatan Hunian
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (lubis. 1989).
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m²/orang (Lubis, 1989).
Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa :
1. Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur terpisah;
2. Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya;
3. Besar resiko terjadinya penularan dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1 orang penderita TB.
C. Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1989). Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.
2. Ventilasi buatan
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantarana adalah kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner). Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:
a. Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
b. Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
c. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain.
Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah > 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (Depkes RI, 1989).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis.
Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, menurut Lubis (1989), luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
D. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihat, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007 ).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk berbentuknya tindakan seorang (over behavior) dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan berpengaruh pada perilaku yang didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007 ).
Penelitian Roger (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni :
a. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus objek
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut disini sikap subjek sudah mulai timbul
c. Evaluation (menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi
d. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus
e. Adaption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan pengetahuan kesadaran dan sikapnya oleh stimulus
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut diatas (Notoatmodjo, 2007 : 140).
2. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang tercakup dalam kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu
a. Tahu ( Know )
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sepenuhnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima “Tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, mengatakan dan sebagainya.
b. Memahami ( Comprehesion )
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretesikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan.
c. Aplikasi ( aplication )
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari pada situasi dan kondisi real. Aplikasi dapat diartikan penggunaan hukum-hukum, rumus-rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lainnya.
d. Analisis ( analysis )
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menggambarkan (membuat bagan),membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya
e. Sintesis ( syntesis )
Sintesis menunjukkan sebagai kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk kecenderungan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah sautu kemampuan formulasi yang ada.
f. Evaluasi ( evaluating )
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angkat yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian/responden (Notoatmodjo, 2007).
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus. Konsep hanya dapat diamati atau diukur melalui konstrusi atau lebih dikenal dengan nama variabel.
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Hubungan variabel yang diteliti
|
Perumahan sehat dipengaruhi oleh, pengetahuan, sikap dan tindakan, seseorang. pendidikan yang dipengaruhi pula dengan tidak adanya pekerjaan sehingga pendapatan kurang, sosial ekonomi yang sangat terbatas dan lingkungan sosial, budaya akan mempengaruhi kondisi perumahan yang sehat bila perumahan sehat tidak tersedia maka akan menjadi faktor-faktor sehingga terjadinya penyakit Tuberkulosis Paru.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (Independent Variabel) adalah Kepadatan penghuni, ventilasi rumah dan pengetahuan.
2. Variabel terikat (Dependent Variabel) adalah kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif.
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Obyektif
- Penderita Tuberkulosis paru BTA Positif adalah orang yang memiliki gejala-gejala klinis TB Paru yaitu: batuk berdahak lebih dari 2 minggu dan salah satu atau lebih gejala tambahan yaitu berat badan, nafsu makan berkurang, berkeringat dimalam hari tanpa ada aktifitas serta berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditemukan BTA Positif.
Menderita TB Paru BTA Positif : Bila hasil pemeriksan laboratorium dan diagnosa dokter menderita penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif.
Tidak menderita : Bila hasil pemeriksan laboratorium dan diagnosa dokter tidak menderita penyakit Tuberkulosis paru BTA positif.
- Kepadatan hunian adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
Tidak Padat : Apabila Lantai Rumah responden mempunyai luas > 8 m2/orang.
Padat : Apabila Lantai Rumah responden mempunyai luas < 8 m2/orang (Depkes RI. Tahun 2005).
- Ventilasi adalah kondisi rumah yang memiliki sirkulasi udara keluar masuk cukup dengan luas ventilasi minimal 10 % dari luas lantai
Memenuhi syarat : Apabila responden mempunyai ventilasi tetap dengan ukuran > 10 % dari luas lantai
Tidak memenuhi syarat : Apabila responden mempunyai ventilasi tetap dengan ukuran < 10 % dari luas lantai (Depkes RI. 2005)
d. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui penderita tentang pencegahan penularan Tuberkulosis Paru BTA Positif meliputi penyebab, gejala, pencegahan dan pengobatannya.
Kriteria objektif :
a. Cukup : apabila responden memperoleh skor > 60%
b. Kurang : apabila responden memperoleh skor < 60%
D. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ho : Tidak ada hubungan Kepadatan hunian dengan kejadian penderita Tuberkulosis Paru di wilayah kerja puskesmas poasia.
Ha : Ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penderita Tuberkulosis Paru di wilayah kerja puskesmas poasia.
2. Ho : Tidak ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penderita Tuberkulosis Paru di wilayah kerja puskesmas poasia.
Ha : Ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penderita Tuberkulosis Paru di wilayah kerja puskesmas poasia.
3. Ho : Tidak ada hubungan pengetahuan dengan kejadian penderita Tuberkulosis Paru di wilayah kerja puskesmas poasia.
Ha : Ada hubungan pengetahuan dengan kejadian penderita Tuberkulosis Paru diwilayah kerja puskesmas poasia.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini yang digunakan adalah penelitian observasional dengan desain kasus kontrol (Case Control Study). Dalam penelitian ini sebagai kasus adalah penderita Tuberculosis Paru BTA Positif dengan kelompok kontrol bukan penderita Tuberkulosis paru BTA Positif yang datang berobat dipuskesmas yang kemudian dihubungkan dengan kepadatan hunian, ventilasi rumah dan pengetahuan masyarakat.
2. Rancangan Penelitian
|
|
|
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja puskesmas Poasia Kecamatan poasia Kota kendari dan akan dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif yang berobat di Puskesmas Poasia pada Tahun 2010 yaitu sebanyak 44 Orang.
2. Sampel
a. Kasus : adalah penderita Tuberkulosis Paru BTA positif yang ada di wilayah kerja Puskesmas Poasia Kecamatan Poasia Kota Kendari sebanyak 44 Orang Tahun 2010
b. Kontrol : Pasien yang berobat di Puskesmas Poasia dan tidak menderita penyakit Tuberkulosis paru BTA Positif sebanyak 44 orang di wilayah kerja Puskesmas Poasia Kecamatan Poasia Kota Kendari Tahun 2010
D. Prosedur Pengumpulan Data
a. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Sultra, Dinas Kesehatan Kota Kendari dan Puskesmas Poasia, Tentang penderita penyakit tuberculosis paru, data tentang jumlah KK di Kecamatan Poasia dan data perumahan sehat.
b. Data primer
Data primer kondisi rumah meliputi, kepadatan hunian, ventilasi, dan pengetahuan dengan menggunakan kuesioner yang telah tersedia dengan pengamatan langsung tentang rumah responden.
E. Pengolahan dan Analisis
Untuk membuktikan hipotesa, sesuai data yang telah diolah dilakukan analisis dengan program komputer menggunakan uji statistik Chi-Square (X2) pada taraf kepercayaan 95% kemudian dilanjutkan dengan uji Contingency Coefficient (C) untuk mengetahui kekuatan hubungan. Variabel yang tidak dapat diuji dengan Chi-Square akan diuji menggunakan uji Fisher Exact dengan rumus-rumus sebagai berikut :
Rumus Chi-Square
(Hadi, Sutrisno ; 2004)
Rumus Contingency Coefisien
(Riwidikdo, Handoko ; 2008)
Kriteria penerimaan hipotesis dengan uji Chi-Square (X2) pada confiden level 95% (a = 0,05) adalah sebagai berikut :
Ho diterima bila X2hit £ X2tabel
Ho ditolak bila X2hit > X2tabel
Kriteria penerimaan hipotesis dengan Fisher Exact (P) :
Ho diterima bila P ≥ 0,05
Ho ditolak bila P < 0,05
Untuk mengetahui apakah variabel-variabel diatas merupakan faktor risiko kejadian penyakit Tuberculosis paru tahun 2010 maka dilakukan uji epidemiologi Odds Ratio (OR) yang dilanjutkan dengan uji probabilitas (Pr) untuk menegaskan peluang setiap variabel untuk menjadi faktor risiko dengan rumus sebagai berikut :
Rumus Odds Ratio
(Morton, Richard F ; 2008)
Kriteria pengambilan keputusan :
OR > 1 : Merupakan faktor risiko
OR = 1 : Bukan Faktor Risiko
OR < 1 : Mengurangi risiko
Rumus Probablitas Faktor Risiko
Sedangkan untuk mengetahui risiko keadaan kepadatan hunian, ventilasi rumah dan pengetahuan dengan kejadian tuberkulosis paru melalui pendekatan Uji Odd Ratio dengan rumus sebagai berikut:
a x b
OR =
b x c
Limit tidak mencakup nilai – 1.
Upper limit = OR x e+f
Lower Limit = OR x e-f
Dimana :
F = Ö1/a + 1/b + 1/c + 1/d x 1,96
e = Log Nature (2,72)
(Chandra Budiman, 1996)
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Keadaan Geografi
Puskesmas Poasia merupakan salah satu puskesmas yang ada di Kota Kendari yang terletak di bagian Timur yang berbatasan dengan Kecamatan Abeli Kota Kendari tepatnya di Kelurahan Rahandouna Kecamatan Poasia Kota Kendari dengan luas 3.984 M. Jarak antara Puskesmas Poasia dengan Kota Kendari ± 15 km. Adapun batas-batas Puskesmas Poasia adalah :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kendari dan berbatasan dengan Rumah Sakit Provinsi
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ranomeeto dan berbatasan dengan Puskesmas Mokoau
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Abeli dan berbatasan dengan Puskesmas Abeli
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Baruga dan berbatasan dengan Puskesmas Lepo-lepo
Puskesmas Poasia berupa daerah pantai dengan lahan yang kurang subur untuk di jadikan lahan pertanian, tetapi lebih cocok dengan perikanan seperti tambak udang dan ikan.
2. Keadaan Demografi
Secara demografi Puskesmas Poasia pada tahun 2009 mempunyai jumlah penduduk sebanyak 19.528 Jiwa dengan dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 4.522 KK, dengan rincian sebagai berikut :
a. Kelurahan Anduonohu, jumlah penduduk sebanyak 7.265 jiwa dan 1.679 KK dengan dengan luas wilayah 1.200 Ha
b. Kelurahan Rahanduona jumlah penduduk sebanyak 7.829 jiwa dan 1.836 KK dengan dengan luas wilayah 1.275 Ha
c. Kelurahan Anggoeya, jumlah penduduk sebanyak 3.376 jiwa dan 743 KK dengan dengan luas wilayah 1.400 Ha
d. Kelurahan Matabubu, jumlah penduduk sebanyak 1.058 jiwa dan 264 KK dengan dengan luas wilayah 300 Ha.
3. Keadaan Sosial Ekonomi
Mata pencaharian masyarakat Kecamatan Poasia adalah Nelayan, Petani, Buruh harian, Wiraswasta, Swasta, Pedagang, Sektor Angkutan, Buruh bangunan, pengrajin, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS)/ TNI/ POLRI. Secara umum tingkat pendapatan atau penghasilan masyarakat masih rendah.
4. Sarana dan Prasarana Kesehatan
Jenis sarana kesehatan di wilayah kerja puskesmas Wamolo adalah sebagai berikut :
a. Puskesmas Induk = 1 buah
b. Puskesmas Pembantu = 2 buah
c. Posyandu = 14 buah
d. Rumah Dinas Dokter = 4 buah
e. Rumah Dinas Paramedis = 6 buah
B. Hasil Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Wilayah kerja Puskesmas Poasia Kecamatan Poasia mulai tanggal 25 September s/d 29 Oktober 2010 dengan jumlah responden 88 orang. Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan, maka disajikan hasil penelitian berikut :
1. Gambaran Umum Responden
a. Jenis Kelamin
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin diuraikan sebagai berikut :
Tabel 1.
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
Jenis Kelamin | Jumlah | |
n | % | |
Laki-Laki | 20 | 22,7 |
Perempuan | 68 | 77,27 |
Total | 88 | 100 |
Sumber : Data Primer
Tabel 1. menunjukkan bahwa jumlah responden lebih banyak oleh perempuan dengan jumlah 68 orang (77,27%) dan Laki-laki sebanyak 20 orang (22,7%).
b. Umur
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin diuraikan sebagai berikut :
Tabel 2.
Distribusi Responden Berdasarkan Umur
di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
Kelompok Umur (Tahun) | Jumlah | ||
n | % | ||
< 30 | 35 | 39,77 | |
30 – 55 | 30 | 34,09 | |
55 – 65 | 12 | 13,64 | |
65- 70 | 9 | 10,23 | |
>70 | 2 | 2,273 | |
| 88 | 100 |
Tabel 2. menunjukkan bahwa jumlah responden lebih banyak pada kelompok umur < 15 tahun sebanyak 35 orang (39,77%), pada kelompok umur 30 – 55 tahun sebanyak 30 orang (34,09%), pada kelompok umur 55 – 65 tahun sebanyak 12 orang (13,64%), Pada kelompok umur 65 – 70 tahun sebanyak 9 orang (10,23%) dan pada kelompok > 70 tahun sebanyak 2 orang (2,273).
c. Pendidikan
Tingkat pendidikan responden dibagi dalam 6 katagori yaitu tidak sekolah, Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Akademik/PT dan Sarjana dengan uraian sebagai berikut :
Tabel 3.
Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
Pendidikan | Jumlah | |
n | % | |
TTS | 7 | 7,95 |
SD | 16 | 18,18 |
SLTP | 24 | 27,27 |
SLTA | 20 | 22,73 |
Akademik/PT | 18 | 20,45 |
Sarjana | 3 | 3,41 |
Total | 88 | 100 |
Sumber : Data primer 2010
Tabel 3. menunjukkan bahwa dari 88 responden yang diobservasi terdapat 7 orang (7,95%) yang tidak sekolah, SD sebanyak 16 orang (18,18%), SLTP sebanyak 24 orang (27.27%), SLTA sebanyak 20 orang (22,73), Akademik/PT sebanyak 18 orang dan Sarjana 3 orang (3,41%).
2. Analisis Univariat
a. Kepadatan Penghuni
Distribusi responden berdasarkan kepadatan penghuni diuraikan sebagai berikut :
Tabel 4.
Distribusi Responden Berdasarkan Kepadatan Penghuni
di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
Kepadatan Hunian | Jumlah | |
n | % | |
Tidak Padat | 54 | 61,36 |
Padat | 34 | 38,64 |
Total | 88 | 100 |
Sumber : Data primer 2010
Tabel 4. menunjukkan bahwa jumlah responden dengan kepadatan penghuni berdasarkan keadaan rumah yang tidak padat terdapat 54 rumah (61,36%) dan padat terdapat 34 rumah (38,64%).
b. Ventilasi Rumah
Distribusi responden berdasarkan ventilasi rumah diuraikan sebagai berikut :
Tabel 5
Distribusi Responden Berdasarkan Ventilasi Rumah
di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
Ventilasi Rumah | Jumlah | |
n | % | |
MS | 36 | 40,91 |
TMS | 52 | 59,09 |
Total | 88 | 100 |
Sumber : Data primer 2010
Tabel 5. menunjukkan bahwa jumlah responden dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat berdasarkan keadaan rumah yang MS terdapat 36 rumah (40,91%) dan TMS terdapat 52 rumah (59,09%)
.
c. Pengetahuan Responden
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan responden diuraikan sebagai berikut :
Tabel 6
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan
di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
Pengetahuan | Jumlah | |
n | % | |
Cukup | 39 | 44,32 |
Kurang | 49 | 55,68 |
Total | 88 | 100 |
Sumber : Data primer 2010
Tabel 6. menunjukkan bahwa jumlah responden dengan pengetahuan cukup terdapat 38 orang (44,32%) dan berpengetahuan Kurang terdapat 49 orang (55,68%).
3. Analisis Bivariat
a. Hubungan Kepadatan Hunian dengan penyakit tuberculosis paru
Kejadian penyakit tuberculosis paru bila dibandingkan dengan non Tuberculosis Paru yang berkunjung ke Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2010, seperti pada tabel di bawah ini. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit tuberculosis Paru BTA Positif sebagai berikut :
Tabel 7
Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Penyakit
Tuberculosis Paru BTA Positif di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
No | Kepadatan | Kelompok | JML | |
Hunian | TB Paru BTA + | Non TB Paru | ||
1 | Tidak Padat | 19 | 38 | 54 |
2 | Padat | 25 | 9 | 34 |
Total | 44 | 44 | 88 | |
X2hit | 13,710 | |||
X2tabel, (df=1 dan α=0,05) | 3,841 | |||
OR | 0,178 | |||
Lower & Upper | 0,69 & 0,459 |
Tabel 7. Diatas bahwa analisis hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit tuberculosis paru. Rumah yang kepadatan huniannya tidak padat terdapat 19 rumah dan padat 25 rumah. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 38 rumah yang tidak padat dan 9 rumah padat.
Hasil uji statistik Chi Square pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa X2hit = 13710 > X2tabel = 3,841 sehingga Ho diterima atau Ha ditilak yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penyakit tuberculosis paru BTA positif. Diwilayah kerja puskesmas Poasia Kota Kendari. Hasil uji koefisien kontingensi menunjukkan tidak ada kekuatan hubungan sebesar 0,367.
Uji Odds Ratio menunjukkan nilai OR = 0,178 (Lower Limit =0,069 dan Upper Limit = 0,459) yang berarti Kepadatan hunian dapat beresiko 0,178 kali untuk tertular penyakit tuberculosis paru..
b. Hubungan ventilasi rumah dengan penyakit tuberculosis paru
Kejadian penyakit tuberculosis paru dapat dibandingkan dengan non tuberculosis Paru yang berkunjung ke Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2010, seperti pada tabel di bawah ini. Hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penyakit tuberculosis Paru sebagai berikut :
Tabel 8
Analisis Hubungan ventilasi Rumah dengan Kejadian Penyakit
Tuberculosis Paru BTA Positif di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
No | Ventilasi | Kelompok | JML | |
| TB Paru BTA + | Non TB Paru | ||
1 | MS | 11 | 25 | 36 |
2 | TMS | 33 | 19 | 52 |
Total | 44 | 44 | 88 | |
X2hit | 9,214 | |||
X2tabel, (df=1 dan α=0,05) | 3,841 | |||
OR | 0,253 | |||
lower & Upper | 0,102 & 0,627 |
Tabel 8. Diatas bahwa analisis hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penyakit tuberculosis paru. Rumah yang ventilasinya MS terdapat 11 rumah dan TMS terdapat 33 rumah. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 25 rumah yang MS dan TMS terdapat 19 rumah.
Hasil uji statistik Chi Square pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa X2hit = 9,214 > X2tabel = 3,841 sehingga Ho diterima atau Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penyakit tuberculosis paru. Diwilayah kerja puskesmas Poasia Kota Kendari. Hasil uji koefisien kontingensi menunjukkan tidak ada kekuatan hubungan sebesar 0,308.
Uji Odds Ratio menunjukkan nilai OR = 0,253 (Lower Limit = 0,102 dan Upper Limit = 0,267 yang berarti ventilasi rumah merupakan faktor resiko kejadian penyakit Tuberculosis paru
b. Hubungan Pengetahuan dengan penyakit tuberculosis paru
Kejadian penyakit tuberculosis paru dapat dibandingkan dengan non TB Paru yang berkunjung ke Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2010, seperti pada tabel di bawah ini. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit tuberculosis Paru sebagai berikut :
Tabel 9
Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Penyakit
Tuberculosis Paru BTA Positif di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia
Kota Kendari Tahun 2010
No | Pengetahuan | Kelompok | JML | |
| TB Paru BTA + | Non TB Paru | ||
1 | Cukup | 13 | 26 | 39 |
2 | Kurang | 31 | 18 | 49 |
Total | 44 | 44 | 88 | |
X2hit | 7,782 | |||
X2tabel, (df=1 dan α=0,05) | 3,841 | |||
OR | 3,444 | |||
lower & Upper | 8,333 & 1,424 |
Tabel 9. Diatas bahwa analisis hubungan pengetahuan dengan kejadian penyakit tuberculosis paru. Responden yang pengetahuannya cukup terdapat 13 orang dan responden yang berpengetahuan kurang 31 orang. Sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 24 yang berpengetahuan cukup dan 18 orang yang berpengetahuan kurang.
Hasil uji statistik Chi Square pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa X2hit = 7,782 < X2tabel = 3,841 sehingga Ho ditolak atau Ha diterima yang berarti ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan masyarakat dengan penyakit Tuberculosis Paru. Diwilayah kerja puskesmas Poasia Kota Kendari. Hasil uji koefisien kontingensi menunjukkan ada kekuatan hubungan sebesar 0,285.
Uji Odds Ratio menunjukkan nilai OR = 3,444 Lower Limit =1,424 dan Upper Limit = 8,333 yang berarti pengetahuan responden merupakan faktor resiko kejadian penyakit tuberculosis paru.
C. PEMBAHASAN
1. Hubungan Kepadatan Rumah Responden dengan Kejadian Penyakit Tuberculosis Paru BTA Positif
Kepadatan penghuni rumah juga dapat mempengaruhi kesehatan, karena jika suatu rumah yang penghuninya padat dapat memungkinkan terjadinya penularan penyakit dari satu manusia kemanusia lainnya. Kepadatan penghuni didalam ruangan yang berlebihan akan berpengaruh, hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan bibit penyakit dalam ruangan. Kepadatan penguhuni dalam rumah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan insiden penyakit Tuberculosis Paru dan penyakit-penyakit lainnya yang dapat menular.
Suatu rumah dikatakan padat bila anggota keluarga yang tinggal dalam ruangan dengan ukuran luas minimal 8 m2 digunakan lebih dari 2 orang. Oleh sebab itu jumlah penghuni di dalam rumah harus disesuaikan dengan luas rumah agar tidak terjadi kepadatan yang berlebihan.
Teori tersebut diatas dihubungkan dengan penderita tuberculosis paru dimana hasil penelitian Kepadatan penghuni menunjukan bahwa dari 88 responden yang kepadatan rumahnya tidak padat 54 rumah (61,36%) dan terdapat 34 rumah padat (38,64%). Hal ini menunjukan bahwa persentase rumah responden yang padat dan secara statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penderita tuberculosis Paru.
Hasil uji statistik Chi Square pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa X2hit = 13,710 > X2tabel = 3,841 sehingga Ho ditolak atau Ha diterima yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penyakit tuberculosis paru BTA positif. Diwilayah kerja puskesmas Poasia Kota Kendari. Hasil uji koefisien kontingensi menunjukkan tidak ada kekuatan hubungan sebesar 0,367
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Singgih Sugiarti (2003) di surakrta yang menyatakan bahwa secara statistik ada hubungan antara Kepadatan hunian dengan penderita tuberculosis paru. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Tonny Lumban Tobing (2009) di Tapanuli Utara yang menyatakan bahwa secara statistik ada hubungan antara Kepadatan hunian dengan penderita tuberculosis paru.
2. Hubungan Ventilasi Rumah Responden dengan dengan Kejadian Penyakit Tuberculosis Paru BTA Positif.
Adanya ventilasi pada rumah amatlah penting yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara sehingga dapat menjaga kestabilan suhu dalam ruangan agar tidak pengap.
Kurangnya ventilasi dapat menyebabkan ketersediaan O2 di dalam rumah berkurang, sehingga kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-Bakteri patogen, terutama bakteri mycobacterium yang disebarkan oleh penderita akan memudahkan terjadinya penularan penyakit khususnya penyakit menular termasuk tuberculosis.
Sehingga dalam satu rumah yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat menyebabkan rasa tidak nyaman bagi penghuninya. Tiga faktor yang dapat disebabkan adalah : Berkurangnya O2 dam udara, bertambahnya kosentrasi CO2 dan adanya bahan racun organis yang ikut terhirup. Dari teori tersebut penulis melakukan penelitian tentang hubungan ventilasi rumah dengan kejadian penyakit tuberculosis paru positif serta melihat seberapa tinggi resiko terjadinya tuberculosis terhadap kondisi ventilasi rumah tinggal.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 88 responden rumah yang ventilasinya memenuhi syarat yaitu 36 rumah (40,91%) pada kelompok kasus dan ventilasinya yang tidak memnuhi syarat 52 rumah (59,09%) pada kelompok kasus.
Hubungan ventilasi dengan kejadian penyakit Tuberculosis Paru BTA Positif Setelah di Uji berdasarkan hasil Uji statistik x2 hitung > x2 tabel (9,214 > 3,841), maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian penyakit Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari. Yang kemudian untuk melihat tingkat resiko berdasarkan hasil analisis epidemiologi dengan Uji Odds Rasio pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), maka dimana nilai Odds Rasio 0,253 hal ini berarti bahwa responden yang ventilasi rumahnya yang tidak memenuhi syarat, beresiko 0,253 kali untuk menjadi penderita Tuberculosis Paru dibandingkan orang yang memiliki rumah dengan keadaan ventilasinya memenuhi syarat.
3. Hubungan Pengetahuan Responden dengan dengan Kejadian Penyakit Tuberculosis Paru BTA Positif.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu,dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk sikap tindakan seseorang
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan teori L.Green dalam Notoatmodjo (2005) yang menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung (Enabling Factor), predisposisi, reforsing dan faktor penguat. Hal ini juga sama dengan pendapat Notoatmodjo yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Pengetahuan responden adalah pengetahuan mengenai penyakit tuberculosis paru yang diterima dari petugas kesehatan maupun media lainnya sehingga diharapkan dapat mengubah perilaku agar menjalani pengobatan secara teratur. Penyuluhan intensif baik secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan pengetahuan yang pada akhirnya dapat mendorong tindakan untuk menjalani pengobatan secara teratur.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat bahwa Pengetahuan tentang penyakit tuberculosis Paru BTA Positif paling banyak pada kategori cukup yaitu sebanyak 46 orang (52,27%), yang berpengetahuan kurang sebanyak 42 orang (47, 73%), Hal ini disebabkan oleh banyaknya pemberian informasi mengenai penyakit tuberculosis Paru BTA Positif.
Menurut asumsi peneliti, petugas kesehatan dalam proses penyembuhan melalui pengobatan dan perawatan dari para medis. Peran petugas kesehatan yang sering berinteraksi dan memiliki tanggung jawab dalam hal proses penyampaian informasi mengenai penyakit tuberculosis paru serta petugas kesehatan juga harus berperan aktif dalam pelaksanaannya bagi pasien dalam membantu proses pengobatan. Pada saat peneliti membagikan kuesioner, responden tidak terlihat bingung dan mengerti tentang penyakit tuberculosis Paru walaupun masih ada yang berpengetahuan kurang kita kembalikan pada pasien tersebut, dan tugas tenaga medis lebih meningkatkan informasi mengenai penyakit tuberculosis Paru.
Setelah di Uji berdasarkan hasil Uji statistik x2 hitung > x2 tabel (7,782 > 3,841), maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara pengetahuan responden dengan kejadian penyakit Tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari. Yang kemudian untuk melihat tingkat resiko berdasarkan hasil analisis epidemiologi dengan Uji Odds Rasio pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), maka dimana nilai Odds Rasio 3,444 hal ini berarti bahwa responden yang pengetahuannya yang kurang, beresiko 3,444 kali untuk menjadi penderita Tuberculosis Paru dibandingkan dengan responden yang pengetahuannya cukup.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang faktor resiko yang berhubungan dengan penderita tuberculosis di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari Tahun 2010 dapat di simpulkan sebagai berikut :
1. Ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan penderita tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari.
2. Ada hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan penderita tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari.
3. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan penderita tuberculosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari.
B. SARAN
1. Meskipun keadaan rumah tidak ada hubungannya dengan penderita tuberculosis namun diharapkan bagi masyarakat yang ada wilayah kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari khususnya yang ingin membangun rumah agar selalu memperhatikan syarat-syarat rumah sehat terutama kepadatan penghunian, keadaan ventilasi serta konsisi lingkungan sekitarya.
2. Diharapkan kepada masyarakat wilayah kerja Puskesmas Poasia Kota Kendari mengadakan penyuluhan kepada masyarakat agar selalu mengutamakan kesehatan rumah untuk kenyamanan penghuni rumah tersebut.
3. Peningkatan peran petugas agar lebih proaktif dalam menemukan penderita secara dini agar penderita dapat diobati sebelum mencapai fase lanjut sehingga dapat mencegah terjadinya kecacatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bugin, Burhan, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Raja Crafindo Persada. Jakarta.
Chandra, Budiman, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Buku Kedokteran ECG. Palembang
Crofton. J. dkk, 2002. Tuberkulosis Klinis. Jakarta. Widya Medika
Dinkes Propinsi Sultra, 2009. Laporan Kejadian Tuberkulosis. Kendari
Dinkes Kota Kendari, 2009. Laporan Tuberkulosis Kendari
Depkes RI. 2008. Pedoman Penyehatan Tuberkulosis dan Penanggulangan. Jakarta
Depkes RI, 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Jakarta.
Depkes RI, 2005. Pedoman TehnisPenyehatan Perumahan. Direktoral Jendral PPM & PLP, Jakarta
Lubis, P. 1989. Perumahan Sehat, Jakarta : Depkes RI
Mantra,I,B, 1985, Partisipasi masyarakat dalam Bidang Kesehatan, pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta Jakarta.
Nasir,M, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
Sanropie Djasio, 1991. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Jakarta: Dirjen PPM dan PLP
Sandjaya,B, 1995, Deteksi Dini Tuberkulosis, Majalah Kesehatan Masyarakat indonesia, No. 2 Jakarta
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mandala Waluya Kendari, Pedoman Penulisan Skripsi, Kendari 2010
Sugiyono, 2004, Statistik untuk Penelitian. Bandung Alfabeta.
Suyono, 1985, Perumahan dan pemukiman Sehat, Jakarta
selamat malam, saya mau tanya, mengenai penulis skripsi ini, siapa penulisnya? mau dijadikan sbr skripsi sy, thank's.
BalasHapus